Cerita Rakyat : Amat Rhang Manyang
Dikampung Pasie, berdekatan dengan Paya Senara daerah Krueng Raya, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada zaman dahulu, berdiamlah di tempat tersebut satu keluarga terdiri dari bapak, ibu dan seorang anaknya laki-laki bernama Amat.
Amat, sering juga di panggil ” Agam ” ( Dalam Istiadat Aceh, panggilan Agam adalah untuk seorang anak laki-laki maupun perempuan di panggil Inong).
Keluarga ini tergolong miskin. Pekerjaan sehari-hari adalah mengolah sabut dan garam. kulit kelapa yang umunya dibuang orang, mereka kumpulkan, lalu direndamkan dalam lumpur. Setelah beberapa lama, rendaman itu diangkat, di bersihkan. Isinya yang sedikit membusuk dibuang sehingga tinggal seratnya saja. Serta ini diolah atau dipintal menjadi jenis tali sabut. Untuk memasak, mereka menggunakan kulit kelapa, pelepah dan daunnya sebagai kayu api. Sedangkan bagi orang kaya semua itu dibuang atau tidak dibutuhkan dalam kebutuhan mereka, cuma dibutuhkan untuk api unggun dalam kandang lembu mereka untuk mengusir nyamuk dalam kandang.
Disamping itu mereka membuat garam, karena kampung pasie (Pasir) itu terletak di tepi pantai. hasil dari kedua mereka inilah yang mereka jual untuk mendapatkan nafkah hidup sehari-hari yang masih jauh memadai. Kasih sayang kedua orangtua si amat tercurah kepadanya, sebab ia anak tunggal satu-satunya. Mereka ingin memberikan kecukupan untuk anak mereka, sebagaimana kebanyakan anak-anak orang lain. Tetapi, hendak dikata, maksud hati memeluk gunung apa apa daya tangan tak sampai.
berbagai usaha lain sudah dicoba oleh bapak si amat untuk mendapatka kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, tetapi tetap mengalami kekecewan. mungkin karena mereka tak memiliki modal apapun kecuali tenaga dan kemauan. Dalam keadaan seperti ini, orang tuanya selalu berpasrah diri kepada Allah, mepertebal keimana dan taqwanya. Setiap selesai shalat, mereka selalu berdoa setidaknya kepada anaknya, Amat, kelak Allah dapat memberikan kehidupan yang lebih layak, sehingga dapat dijadikan payng saat hujan, kayu rimbun tempat berteduh bagi mereka di hari tua.
Keberuntungan tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak pada ketiak amat berumur lima tahun, meninggalah bapaknya. “Patah dahan tempat berjuntai, rubuhlah cabang tempat bergayut”. Tinggalah si amat dan ibunya. betapa sedih ibunya si amat tak terperihkan lagi. Cita-cita dahulu yang di impikan akan di jangkau oleh dua pasang tangan, ia dan suaminya sekarang hanya dirinya sendiri. Dan sampai dimanakah kemampuan seorang wanita sendiri hidup ditinggali seorang kekasih yang ia cintai.
bapak si amat tidak meninggalkan warisan sekalipun kecuali gubuk tiris beserta anaknya si amatyang perutnya setiap hari minta di isi. Kemudian segumpal cita-cita dan doa untuk kebahagiaan mereka dikemudian hari. Di penghujung tangis yang berkepanjangan karena iman dan taqwa, timbul kembali kesadaran yang sempurna, bahwa sema itu adalah takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa. Bulatlah tekat dan cita-cita tidak boleh pudar dan tetap berusaha dengan kemampuan yang ada.
Amat di serahkan kepada Teungku Meunasah untuk belajar mengaji bersama anak-anak yang lainnya dikampung tersebut. Pada dasarnya, ia anak yang rajin dan pandai, Serta cepat untuk dapat menerima pelajaran pengajian yang diberikan. Sering amat dicemoohkaholeh teman-temannya karena pakaiannya compang-camping penuh tambalan, sambil menangis ia pulang ke rumah. Ibunya mengetahui semua ini. Pada kejadian yang demikian ibunya berusaha untuk tersenyum (Terseyum adalah sbagian dari iman” Allah memeberikan senyuman kepada wajah agar tidak dapat mengobati sedih”), memeluk dan mengusap air mata anaknya. kadang-kadang setiap saat mendongengkan sesuatu yang maksudnya perbuatan seperti itu adalah tidak baik yang akhirnya mendapatkan balasan yang tidak baik pula berupa balasan dari Allah. Menjelang tidur malam hari, sering pula ibunya menceritakan dongeng sejenis itu. Diantaranya dongeng anak durhaka yang pada akhir ceritanya dapat malapetaka.
Semua cerita itu diharapkan ibunya, aar dihayati si amat sebagai contoh bahwa perilaku yang baik tidak bergantung terhadap pakaian ang baik atau buruk. Kehidupan yang kaya atau miskin tetapi ungkapan jiwa yang ikhlas dan mulia disisi Allah.
setelah cerita biasanya, amat segera lelap. Namun, dibalik itu semua, hati ibu si amat sering tergoyah oleh penghayatannya sendiri. Lalu timbul keragu-raguan apakah anaknya menjadi orang yang baik-baik ataukah menjadi orang yang mengecewakan harapannya. Pertanyaan terakhir yang tak diucapkan ini lebih banyak menghantui dan mengkawatirkannya. Akan bagaimana jadinya nanti hidup sesudah melarat , anakmembuat ulah pula. Mulailah air matanya menitik satu per-satu bagai manik-manik putus karangan. tidak lama kemudia ia dapat menguasai dirinya kembali dan keluarlah ucapan berbisik ” Na’idzubillah min dzalik” maksudnya ” kami berlindung Kepada Allah dari hal-hal yang buruk”. Namun semuanya menjadi biasa kembali, iapun lelap seperti anaknya.
Dari hari ke hari, dari tahun ketahun amat menjadi remaja. ia membantu ibunya sekedar dengan tnagana yang ada padanya. Tapi kehidupan tidak banyak berubah, masih tergolong iskin dan melarat.
kruen raya adqalah sebuah sungai. dimuaranya pada masa itu terdapat sebuah pelabuhan samudera atau pelabuhan besar , merupakan sebuah pelabuhan tempat mengirikan barang dengan hasil daerah aceh ke luar negeri. Dan sebaiknya tempat memasukkan barang-barang dagangan dari luar neeri untuk kebutuhan rakyat. Armada dagang Aceh sudah cukup besar pada masa itu. setiap hari kapal berlabuh dan bertolak terdiri dari kapal-kapal aceh sendiri dan kapal-kapal luar negeri. Hiruk pikuk dan ramai sekali ada yang sedang membongkar dan ada pula yang sedang memuat barang-barang dagangan. Beratus-ratus peti dikeluarkan dari kapal, beratus-ratus peti pula yang di isikan ke kapal. Ada kapal besar, ada juga kapal yang kecil. Diantaranya ada yang bentuk kapalnya indah, haluannya mencuat dan berakhir.
menjelang saat bertolak saat berpuluh-puluh mendayung pada kedua sisi kapal. Dayung-dayung inilah yang digerakkan dari dalam sisi kapal oleh awak-awak kapal sebagai daya penggerak kapal untuk melaju meluncur membelah gelombang mengharungi samudera luas menuju pelabuhan negeri tujuan. lambaian tangan antar yang pergi dan yang tinggal sering mengharukan. Entah kapan bertemu kembali, atau terkubur didasar laut diamuk topan dan badai.
Lambaian tangan bersambut pula saat berlabuh. entah paman, bapak atau saudara sendiri yang datang. Atau pula kekasih yang dirindukan. Gelak tawa dan cumbu saat jumpa seakan-akan mengatasi semua hiruk-pikuk di pelabuhan itu. nahkoda dengan pakaian yang besarnya di sertai pangkat di bahu kiri dan kanan kelihatan tampan dan megah. Kelasi-kelasi pakaiannya tampak tegap dan kuat. Berganti-ganti kapal ang datang dan pergi, berganti-ganti pula nahkoda dan kelasi-kelasi lalu lalang dan naik turun melalui dermaga pelabuhan. Semua mereka tapan dan gagah, tetap dan kuat.
hampir setia hari amat dan kawan-kawannya datang kedekat pelabuhan ini. Umumnya mereka sekedar melihat dan ingin mengetahui keadaan. Sesuatu yang mereka rasa aneh, mereka berbicara dan menceritakan kepada kawan-kawan yang lain dikampungnya, bahkan ada diantara mereka menceritakan kepada orang tua. Bebeda dari yang lain, amat ikut-ikutan juga bercerita, tetapi kiranya dengan diam-diam ia benar-benar menghayati semua yang dilihatnya dipelabuhan itu sejak dari kecil. dalam pikiran amat, nahkoda-nahkoda dan kelasi itu selain tampan dan gagah, tegap dan kuat, tentu juga mereka orang yang kaya. Setidak-tidaknya kehidupan mereka jauh lebih baik daripada kehidupan amat beserta ibunya.
Lalu lambat laun menyusup ke hati sanubarinya keinginan untuk menjadi nahkoda atau kelasi. jika keinginannya tercapai tentu kehidupan bersama ibunya akan berubah menjadi lebih baik. Keinginannya ini tidak pernah diceritakannya kepada siapapun. Kepada ibunya juga tidak.
Pada malam hari sering amat tidak dapat segera tertidur lelap. Bayangan dan keinginannya menjadi nahkoda atau kelasi selalu menggodanya. Ia akan mengharungi lautan luas. menjelajahi berbagai negeri. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-buan diperjalanan tentu ia akan pulang juda ke kampungnya. ia akan membawa oleh-oleh kesenangan ibunya, bahkan lebih dari itu. Ibunya akan menyambutnya dengan kasih mesra di ambang pintu. rumahnya tentu bukan lagi gubuk tiris, tetapi rumah batu besar yang kokoh. Angan-angannya demikian akhirnya kembali kepada alam sadar dan kenyataannya. bagaimana ia dapa mencapai iu semua ? sampai pikiran amat menjadi buntu, ibarat pemburu kehilangan jejak binatang buruan dan menyebabkan ia tak bisa tidur. bertahun-tahun ia diombang-ambingkan antara kenyataan dan cita-cita. lebih-lebih kalau siangnya amat bersama kawan-kawannya sebagaimana biasanya berkunjung ke dekat pelabuhan. Malamnya pasti cita-cita dan kenyataan itu menghambat tidurnya.
Menjelang suatu senja hujan turun samapi larut malam, amat tidak dapat pergi ke meunasah mengaji atau tidur disana sebagaimana seperti biasanya. Tidur di meunasah bagi anak-anak remaja dan pemuda-pemuda sekampung adalah sudah menjadi adat istiadat di Aceh sejak zaman sebelumnya.
Malam itu amat tidur di rumah. Matanya belum juga terpicing, kendatipun malam telah larut dan badannya terbaring. Pikirannya di amuk lagi oleh cita-citanya dan kenyataan entah berapa kali sudah kejadian demikian, ia tidak dapat menghitungnya lagi. Tanpa disadari amat sedang memperhatikan wajah ibunya yang sedang tertidur pulas. Nafasnya berat satu-satu, menandakan kerja keras siang harinya. Keningnya sudah mulai berkerut, pipinya sudah mulai cekung mendahului umur yang sebelumnya.
Teringatlah Amat, dahulu semasa kanak-kanak dialah yang lebih dahulu tidur diantar oleh dongeng dari ibunya. Malam ini sebaliknya. Amat menyusuri kembali jejak-jejak masa silam, bapaknya yang sudah meninggal kehidupan keluarganya yang melarat serta bermacam-macam dongeng yang didengarnya. Tiba-tiba Amat tersenyum sendiri. Senyum manis dan gairah. Apakah yang mendorongnya berbuat demikian ? Entahlah. Sementara hanya Amat sendiri yang tahu.
Tiada berapa lama kemudian ia pun tertidur lelap setelah berhenti hujan di luar. Pada suatu hari di pelabuhan lebih ramai dari biasa. Berapa kapal
sekaligus membuang sauh. Awak-awak kapal turun ke darat menambah hiruk-pikuknya suasana di pelabuhan saat itu. Amat sudah sejak pagi berada di luar pelabuhan. Dari agak jauh ia memperhatikan keadaan. Memang akhir-akhir ini Amat sering sendirian datang. Kawan-kawannya kadang-kadang lebih suka adu layang-layang (Geulayang temang) di sawah atau belajar bermain geude-geude (gulat Aceh) di pasir pantai atau bermain sepak bola di halaman kampung. Kadang-kadang mereka berbondong-bondong ke suatu petak sawah kering dan luas menyaksikan peupak leume (adu sapi) antara sapi dari satu kampung dengan sapi kampung lain. Semua ini tidak lagi menarik perhatian Amat. Hatinya sudah lebih banyak bertaut dengan pelabuhan.
Hari itu juga Amat berusaha dan memberanikan diri menemui seorang pegawai pelabuhan, orang kampungnya sendiri yang ia kenal baik hati. Nama orang itu Kamil, tetapi sehari-hari orang lebih kenal dengan panggilan Pak Agam. Kebetulan Pak Agam keluar daerah pelabuhan hendak sembahyang dhuhur di mesjid tidak jauh dari pelabuhan. Keadaan di pelabuhan agak sepi. Pekerja-pekerjanya sebahagian besar sedang istirahat dan makan siang. Diantaranya ada yang sedang melaksanakan shalat dhuhur juga.
Amat menghampiri Pak Agam dengan hati berdebar dan ragu-ragu. Dengan sikap hormat disapanya : ,j°ak , Pak Agam !” Langkah Pak Agam tertegun, sambil menoleh ke arah datangnya panggilan itu. “Kau Amat, ada apa nak ?” Amat lebih mendekat. Hampir seperti berbisik seakan-akan gagap Amat menyampaikan maksudnya. „A. . . . Anu Pak ! Sa. . . . Saya ingin ikut salah satu kapal itu”, sambil menunjuk ke pelabuhan dan menandakan kapal. ,,Ha, H a . . . . Ha! Pak Agam tertawa terbahak-bahak, „mana mungkin nak, tentu kamu tidak mampu membayar ongkos”. Karena mendapat layanan dalam percakapan itu, Amat menjadi lebih berani dan lancar mengeluarkan suaranya. “Maksud saya Pak, saya ingin bekerja pada kapal itu”. ,,Wah, umurmu masih terlalu muda nak. Menurut pikiran bapak, kamu belum mampu bekerja berat di kapal.” Amat terdiam, rasa kecewa merasak hatinya. “Bapak mau sembahyang dulu”, kata Pak Agam, lalu iapun meninggalkan Amat yang masih tegak terpaku.
Sejak saat itu Amat menjadi pemurung. Sudah jarang ia bersama kawan-kawannya. Dengan ibunya di rumah tidak lagi sebijak biasa. Sikapnya menjadi lamban. Dalam mengaji sering salah. Di hadapan kawan-kawannya ia berusaha berbuat seperti biasa, tetapi seperti dipaksakannya.
Teuku Meunasah gurunya mengaji, kawan-kawannya yang menaruh perhatian serta ibunya di rumah bertanya-tanya, mengapa Amat akhirakhir ini banyak berubah. Pertanyaan mereka kepada Amat selalu dijawabnya „tidak apa-apa, dengan senyum dipaksakan. Tidak seorangpun tahu sebab musabab kemurungan Amat, kecuali Pak Agam barangkali dan dirinya sendiri. Pada pikiran Amat, jika Pak Agam yang diyakininya baik hati itu tidak mau membantunya, apalagi orang lain. Kekecewaannya semakin mehdalam. Waktu tidur ia selalu gelisah.
Tiap hari tidak urung Amat datang ke dekat pelabuhan, sendirian. Kadang-kadang dari pagi sampai petang, seakan-akan ia lupa makan siang. Matanya selalu tertuju kepada kapal-kapal yang berlabuh dan
bertolak. Melihat sikap Amat sedemikian banyak kawan-kawannya dan orang sekampung menduga-duga apa yang sebenarnya yang dirindukan Amat. Tetapi akhirnya sampai juga kepada kesimpulan yang tidak pasti, karena tidak pernah terungkap dari mulut Amat sendiri. Pak Agampun tidak pernah menceritakan hal itu kepada orang lain. Diantara mereka ada merasa kasihan. Ingin membantu tetapi tidak tahu jalan. Sebahagian mengejek pula, menggelari Amat, si Pungguk merindukan bulan. Semua ejekan itu ditahankan, diterima dan ditelan oleh Amat sembari berdoa dan pasrah kepada Tuhan, semoga suatu ketika Tuhan akan memberikan jalan baginya. Amat tetap bersikap biasa terhadap mereka. Tidak ada tanda-tanda Amat memusuhi mereka yang mengejek itu. Kiranya Pak Agam selalu memperhatikan tingkah laku Amat sejak pertemuannya pertama. Pak Agam merasa kasihan jika anak semuda itu harus bekerja berat di kapal. Tetapi sebaliknya pula Pak Agam kagum sekali terhadap cita-citanya yang sudah demikian tinggi dalam usia semuda itu. Terbayang di benak Pak Agam kehidupan keluarga Amat sejak dulu. Apa lagi setelah Amat menjadi yatim serta ibunya tetap janda. Kehidupan keluarganya menjadi lebih sulit lagi. Kemudian menjalar pula pertimbangan, bahwa permintaan anak itu justru permulaan satu usaha mencoba memperbaiki kehidupan beserta ibunya. Usaha karena tanggung jawab yang luhur terhadap kebahagiaan ibunya di kemudian hari. Diam-diam Pak Agam berusaha memenuhi keinginan Amat. Kesangsiannya yang utama kalau tidak ada nakhoda yang mau menerimanya, karena umur Amat masih terlalu muda.
Suatu petang Amat dikejutkan oleh panggilan Pak Agam : “Mat, mari dulu !” Amat menghampiri Pak Agam setengah berlari. “Ikut Bapak !” ujarnya kemudian tanpa bicara lagi. Amat mengikut di belakang Pak Agam memasuki daerah pelabuhan. Jalannya Amat kaku. Maklumlah Amat jarang sekali memasuki daerah itu. Takut diusir orang yang menganggapnya pengemis, karena pakaiannya compang camping. Kali ini karena diajak dan bersama Pak Agam ia turuti juga. Amat diperkenalkan oleh Pak Agam kepada seorang nakhoda yang sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang temannya dalam sebuah kamar di kantor pelabuhan. Dengan langkah tertegun-tegun dan muka sedikit pucat Amat memasuki ruangan itu. Orang-orang di luar kantor memperhatikan Amat masuk dengan penuh tanda tanya.
“Inilah anak yang kumaksudkan kemarin, kata Pak Agam memulai pembicaraannya.”
” Hm”, sambil mendesis nakhoda memperhatikan Amat dari ujung rambut sampai ke ujung jari-jari kakinya yang telanjang.
Nakhoda menilai, dari raut muka Amat adalah anak baik, jujur dan keras hati. Perawakannya cukup tampan. Amat merasa malu, kepalanya menunduk. Sebetulnya Amat tidak takut, tetapi merasa rendah diri karena keadaannya yang demikian itu. Kemudian terjadilah tanya jawab dan percakapan antara nakhoda, Amat dan Pak Agam, yang pada pokoknya berkisar pada kehidupan keluarga Amat beserta ibunya sampai kepada keinginannya bekerja di kapal. „Kalau maksudmu benar-benar hendak membantu ibumu aku bersedia menerimamu bekerja di kapal. Dan kamu boleh turun ke darat, di daerah yang disinggahi kapalku, kata nakhoda menegaskan cita-cita Amat.
Seperti meiedak rasanya dada Amat, karena sangat gembira. Air matanya berlinang. Berkali-kali Amat mengucapkan terima kasih. Senyum Pak Agam seakan-akan tak habis-habisnya, rupanya iapun merasa sangat gembira dan bahagia usahanya membantu Amat berhasil. Sejak saat itu air muka Amat cukup cerah kembali. Sikapnya kembali seperti semula. Walaupun begitu kepada orang tua ia tetap hormat, kepada kawan-kawannya tetap ramah dan sayang kepada anak-anak yang lebih muda dari padanya. Berita tentang Amat akan merantau dari mulut ke mulut cepat tersebar dalam kampung. Barulah kawankawannya menyadari mengapa Amat selama ini murung saja. Diantaranya menyatakan Amat akan beruntung, orang tuanya tentu akan bahagia nanti.
Karena keberangkatan kapal tidak lama lagi, Amat segera menyampaikan halnya kepada ibunya. Ibunya terkejut sekali, mengapa selama ini tidak pernah diceritakannya. Ibunya membujuk agar Amat membatalkan maksudnya. ” Amat, anakku, betapakah ibu dapat melepasmu. Engkaulah anakku satu-satunya, tumpuan kasih selama hayat dikandung badan. Engkaulah tempatku bergantung di hari tua. Tidak ada sanak famili yang mau mengasuh ibu yang melarat ini !”
Sambil memeluk Amat ibunya menyampaikan keluhannya dengan kata tersendat-sendat dan air mata bercucuran. Amatpun demikian pula menangis sejadi-jadinya dan membiarkan ibunya berbicara terus. “Amat, bapakmu sudah lama meninggalkan kita. Hati ibu sangat bahagia, walaupun kita hidup dalam keadaan seperti ini.” Ungkapan kata hati ibunya putus sebentar. Hanya isak tangis yang terdengar. Amat berusaha menyadarkan dirinya yang sudah mulai hanyut ‘dalam arus kesedihan. ” Nah, jangan pergi nak, jangan nak”, ujar ibunya lagi dengan nada lemah resah.”
Tidak lama kemudian sebaliknya Amatpun mulai membujuk ibunya. “Bu, kanrena itulah aku pergi bu. Karena cinta kasihku kepada ibu. Aku tidak tega mengalami kehidupan begini sampai ibu tua. Aku ingin membahagiakan ibu. Bukan saja kebahagian dalam hati, tetapi kebahagian dalam kehidupan kita seluruhnya. Kembali sejenak, hanya isak tangis memenuhi ruangan gubuk tempat tinggal Amat bersama ibunya. “Bu! kata Amat kemudian. “Aku akan mencoba mengadu untung di perantauan, Aku akan berhemat dan membawanya pulang”. “Bu alangkah lebih bahagianya ibu dan aku sendiri, jika aku pulang nanti dapat menguntaikan sebuah kalung berharga di leher ibu, melekatkan cincin di jari ibu, gelang dan pakaian lainnya yang indah-indah.” “Bu, izinkanlah Amat pergi, hanya untuk sementara waktu. Aku pasti akan kembali jika nyawa masih di badan”.
Amat terus mendesak ibunva dengan buiukan. “Berilah doa restu, bu !” Semua kata-kata Amat yang’diucapkannya keluar dengan sadar dari hati nuraninya sendiri. Hati ibunya menjadi bimbang antara merelakan anaknya pergi dengan tidak. Jika tidak diizinkan, barangkali kebahagian hanya ada pada hati ibunya, belum tentu juga pada diri anaknya. Sebaliknya jika kebahagiaan anaknya direstui, terasa kekhawatiran, apakah anaknya Amat mampu menghadapi semua tantangan di negeri orang yang belum pernah dikenalnya. Apakah ia akan kembali dengan selamat, atau akan berkubur di antah berantah. Ibunya benar-benar ragu dan resah, lalu berdiri dengan lemah pergi ke dapur. Amat hanya mengikuti dengan pandangan mata redap diliputi kecewa. Lama baru Amat tegah dari simpunya, ia berusaha menghimpun semua kekuatannya untuk berpikir, menghambat diri dari keputusan. Jika ia tetap tinggal di kampung itu sia-sialah tekadnya pergi merantau selama ini dan hancurlah semua usaha Pak Agam yang telah membantunya. Amat merasa malu pada dirinya sendiri. Karena itu tekadnya pergi merantau bulat kembali. Amat mendekati ibunya yang sedang meniup api di dapur. Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu ditanak, karena makanan sudah masah sejak tadi. Perbuatan ibunya demikian hanya sekedar berusaha melerai gelisah. .”Bu, izinkanlah bu! Berilah kepadaku doa restu”, mohon Amat dengan suara lemah setengah berbisik. Ibunya seakan-akan tidak mengiraukan permohonan itu, hanya air matanya yang terus mengalir. Begitulah terjadi beberapa kali hampir seharian itu. Amat mengikuti ibunya kemana pergi dan selalu menyampaikan permohonannya yang serupa. “Tidak ada apa-apa yang kuminta dari ibu sebagai bekal, hanya izin ibu yang ikhlas serta doa restu, semoga kita tetap dalam kandungan Tuhan Yang Maha Esa.” Lama kelamaan lembut juga hati ibu si Amat, Lembut bukan karena bujukan anaknya, tetapi lembut karena kasihnya juga. Ia tidak ingin mengecewakan anaknya. Demikianlah kiranya hati seorang ibu, rela berkorban apapun demi kebahagian anaknya, apalagi anaknya Amat pergi untuk menjangkau cita-cita yang tinggi dan luhur. “Anakku, baiklah permintaanmu ibu kabulkan, ” Suatu pernyataan hati yang tulus, pendek dan sederhana. Tetapi bagi Amat seakan-akan jauh lebih besar dari gunung manapun, lebih tinggi dari langit ketujuh. Dipeluknya ibunya erat-erat, sebagai tanda gembira dan awal bahagia yang tak terungkapkan, disaksikan air mata keduanya yang lebih banyak dari sebelumnya. Bagi ibu Amat sendiri kiranya agak lain, air matanya sebagai pertanda awal penderitaan lebih parah, berpisah dengan anak, buah hatinya tersayang dan terkasih.
Mulailah dipersiapkan bekal untuk Amat. Beberapa potong pakaian bertambal yang menurut kadar ibu Amat masih baik dikumpulkan dan dibungkus. Beras segantang dan garam segenggam sebagaimana biasa bekal seorang pergi merantau tidak diperlukan Amat karena
ia akan mendapat makanan di kapal. Tersebar pula kembali kabar di kampung Pasie, bahwa Amat akan segera berangkat. Kawan-kawannya datang ke rumahnya atau dudukduduk berkelompok di bawah pohon kelapa di luar kampung berbincang- bincang tentang keberangkatan Amat dan kemungkinan nasib serta keberuntungannya di perantauan. Diantara mereka sambil bergurau berkata: “Mat, jika engkau beruntung menjadi orang kaya kelak, jangan lupa kepada kami ya!”. “Ah, mana mungkin Amat ingat kita lagi. Biasanya orang kaya lupa kepada orang miskain seperti kita i n i . ” kata yang lain pula. “Ha Ha ha !”, mereka semua tertawa. ” Betulkah begitu, Mat?” tanya yang lain pula. “Insya Allah tidak akan kulupakan kalian, jawab Amat.. “Justru aku pergi untuk kebahagian ibuku. Agar ia lebih berbahagia. Kalian kan tahu kehidupanku berserta ibuku sekarang lebih melarat dari kalian semua”, kata Amat menambahkan.
Kabar itu sampai pula ke kampung Paya Senara dan kampungkampung lain sekitarnya. Banyak orang memuji keberanian Amat dan kebaikan hati Pak Agam yang sudah membantunya. Didapatlah berita dari Pak Agam bahwa besok pagi kapal yang ditumpangi Amat akan bertolak menuju Sabang. Pak Agam menyuruh Amat mempersiapkan apa yang perlu. Hati Amat dag-dig-dug menerima berita itu.
Malam Harinya ibu Amat berusaha menenangkan perasaannya. Dinasehatinya Amat sebanyak-banyaknya. “Anakku, hanya nasehat itulah yang dapat ibu berikan sebagai bekalmu. Ingatlah bahwa nasehat itu jika diindahkan dan dilaksanakan mana yang perlu adalah sama dengan mukjizat. Jika tidak diindahkan dan tidak dilaksanakan akan menjadi sebilah pedang yang akan memotong leher sendiri. Camkanlah semua nasehat ibu itu”, kata ibu Amat.
Setelah berhenti sejenak ibu Amat bangun dari duduknya pergi kesebuah peti kayu tempat penyimpanan pakaian. Seketika ia duduk kembali mendekati anaknya sambil menggenggam sesuatu ditangannya.
“Anakku”, ujarnya kemudian sambil mengulurkan isi genggamannya. Bawalah rencong ini besertamu. Satu-satunya benda berharga milik bapakmu, warisan dari kakekmu. Rencong ini bukan untuk menyerang orang dalam perbuatan jahat, tetapi untuk membela dirimu terhadap siapapun yang dengku khianat kepadamu. Terimalah anakku!” Amat mengulurkan kedua tangannya dengan gemetar menerima benda itu. “Nasehat ibu akan kuingat dan kupatuhi selamanya” “jawab Amat singkat dan haru. Kiranya keduanya tak mampu lagi menahan air mata mereka, maka bercucuranlah keluar. Terompet kapal sudah berbunyi sekali, ketika Amat yang menyandang bungkusan beserta ibunya tiba di pelabuhan. Pak Agam dengan ramah menyongsong mereka. Ia memberi petunjuk kepada Amat bagaimana naik ke kapal dan memberi tahukan agar segera naik. TerjadÜah perpisahan yang tak tertuliskan betapa harunya antara Amat dengan ibunya. Terakhir kelihatan Amat memeluk kaki ibunya.
Terompet kedua , terompet ketiga berbunyi. Kapal perlahanlahan bergerak maju. Amat melambaikan tangannya dengan lesu dari geladak. Ibunya beserta Pak Agam membalasnya demikian juga dari dermaga. Dalam hati ibunya berdoa semoga anaknya lekas kembali. Sebenarnya nakhoda kapal itu tidak bermaksud memberikan pekerjaan yang berat kepada Amat. Ia tertarik kepada dita-cita Amat yang demikian luhur, lalu ingin membantunya. Di kapal pekerjaannya ringan saja dan bebas kesana kemari.
Pakaiannya digani seperti awak kapal lainnya. Kelihatan agak kebesaran sedikit karena memang Amat masih terlalu muda, umurnya padawaktu itu kira-kira lima belas tahun. Karena ramahnya cepat Amat dapat menyesuaikan diri dengan awak kapal lainnya. Semua mereka memanggil adik kepadanya, kecuali hanya nakhoda sendiri yang memanggilnya Amat. Sejak di kapal ia banyak ingin tahu tentang kapal itu. Sering ia
bertanya kepada awak-awak kapal lainnya, dimana tempat barang dan sebagainya, sampai-sampai ia menyanyakan nama nakhoda kapal tersebut. Tentang laut ia tidak begitu takjub, karena Amat sendiri
memang anak pantai. Sementara awak kapal dalam kesibukan, kadang-kadang Amat menyendiri. Terbayang kembali perpisahannya dengan ibunya, apa kiranya yang dikerjakan ibunya sekembalinya dari pelabuhan dan kapan ia akan kembali. Melihat semua tingkah laku Amat nakhoda menganggukanggukkan kepalanya, tandanya ia suka kepada Amat dengan kerajinan, dan keramahannya.
Tibalah kapal yang ditumpangi Amat ke Sabang sebuah pelabuhan dipulau Weh yang terletak diujung utara pulau Sumatera. Kapal berlabu Barang untuk Sabang diturunkan, kemudian ada pula yang dinaikan ke kapal. Waktu istirahat awak kapal boleh turun ke darat daerah pelabuhan. Amat sudah lebih leluasa dapat memperhatikan keadaan kesibukan- kesibukan di kapal dan di darat daerah pelabuhan itu sendiri. Amat menilai tidak banyak berbeda dengan pelabuhan di Krueng Raya dekat kampungnya. Pasie. Terompet pertama berbunyi tanda kapal akan segera bertolak. Tanda yang sudah dikenal Amat sejak ia kanak-kanak. Mnyusul terompet kedua dan ketiga. Kapal bergerak mengubah haluan ke arah selatan, ke pulau Pinang, yang kemudian disebut Penang saja. Betapa indahnya kala senja di tangan laut tanpa tepi, seakan-akan dunia ini hanya lautan belaka. Betapa indahnya haluan membelah ombak. Buih-buih kekuning emasan ditimpa rena senja. Ikan hiyu berbondong-bondong mengikuti kapal, kadang-kadang di haluan kadang-kadang diburitan. Ikan terbang sekali-sekali melayang di atas permukaan air. Demikian berhari-hari. Bagi Amat cukup mengasyikkan, karena perjalanan jauhnya yang pertama sekali. Lain halnya dengan awak kapal lainnya, baru sehari dalam perjalanan sudah rindu kepada pelabuhan yang dituju.
Kapal terus melaju, melaju tiada henti siang dan malam. Yang ditakuti adalah angin topan yang dengan mudah dapat mengombang-ambingkan kapal laksana sabut. Bila hal itu terjadi kecekatan dan ketrampilan awak kapal menurunkan layar sangat diperlukan. Juru mudi dengan penuh waspada mengendalikan kemudi. Hiruk pikuk dan teriakan komando berkumandang kemana-mana. Syukurlah hal seperti itu tidak terjadi kali ini, hanya cerita awak kapal yang sudah pernah mengalaminya kepada Amat. Kapal terus melaju, lagi-lagi melaju sampai suatu ketika kelihatan daratan sayup-sayup di kejauhan.
Pulau Pinang dengan Penangnya, salah satu kota pelabuhan besar diselat Malaka, ramai sekali. Perahu-perahu mundar-mandir diselesela kapal-kapal yang sedang berlabuh. Dermaganya kokoh kuat, gudang-gudang berderet teratur. Beberapa kapal sedang merapat membongkar dan memuat barang. Yang lainnya membuang jangkar agak jauh, menunggu giliran merapat, termasuk kapal yang ditumpangi Amat. Pada suatu kesempatan menjelang kapal merapat ke dermaga Aamat agak terkejut mendapat tepukan di kedua bahunya dari belakang. “Ah: kiranya nakhoda,” pikir Amat dalam hati. “Apakah kau senang dalam pelayaran tadi, Mat?” tegur nahkoda. “Senang sekali tuan dan pengalaman saya yang pertama, jawab Amat. “Di pelabuhan ini kita agak lama berhenti, karena keluarga tinggal di kota ini. Engkau sewaktu-waktu boleh turun melihat keadaan di pelabuhan dan kota.” “Terima kasih Tuan.”
“Tidak berapa lama sesudah itu kelihatan nahkoda turun dari kapal, diiringi oleh dua orang kelasi mejingjing kopernya. Dalam hati Amat merasa cemburu mengapa bukan dia yang disuruh Nahkoda mengiringkannya supaya ia tahu rumah nakhoda itu. Tetapi kemudian Amat menyadari bahwa tidak seluruhnya harus bergantung kepada pertolongan orang lain. Amat berusaha membantu pekerjaan awak-awak kapal, kendatipun kepadanya tidak terlalu dituntut suatu keharusan. Sekali-sekali dipergunakannya waktunya melihat-lihat kota. Menurut ukurannya kota itu cukup besar. Bendi dan gerobak lembu merupakan alat angkut yang utama. Ada juga gerobak kecil yang ditarik orang. Umumnya merupakan alat angkut jarak dekat dan untuk barang-barang yang tidak terlalu berat. Bermacam-macam orang memenuhi jalan-jalan dan pasar dalam kota, Laki, perempuan dan anak-anak hilir mudik mrasing-masing dengan urusannya sendiri. Kebanyakan orang-orang itu perawakannya seperti Amat sendiri. Kemudian Amat tahu bahwa merekalah yang disebut orang Melayu. Ada yang disebut orang Barat, orang India, orang Keling, Cina dan sebagainya.
Amat tidak di kapal lagi. Permintaan Amat agar ia diizinkan tinggal di Penang dikabulkan oleh nakhoda. Nakhoda menepati janjinya dahulu bahwa Amat boleh turun dimana saja di tempat yang diinginkannya. Bahkan nakhoda yang baik itu menambah nasehat-nasehat dan Amat sangat berterima kasih atas semua kebaikannya. Sepeninggal kapal, Amat berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidup nya dari hari ke hari. Lama-lama Amat menyadari bahwa di kota Penang yang dalam tanggapan Amat demikian aman dan tenang, dihuni oleh berbagai bangsa, kiranya tidak mudah mendapatkan pekerjaan, berbeda dengan dugaan Amat semula. Sudah berhari-hari Amat mencari pekerjaan apa saja yang mungkin dilakukannya, tetapi belum kunjung dapat. Pengalaman pahit pertama Amat dirantau orang.
Sebenarnya Amat adalah anak yang cerdas dan dapat dipercayai. Hal ini dapat dibaca pada porosnya dan sudah kelihatan pada waktu mengaji di kampungnya dahulu. Kiranya orang-orang sangsi memberikan pekerjaan kepada Amat, karena banyak pengalaman mereka memerima anak yang seperti itu, akhirnya menipu mereka dengan mencuri uang dan barang-barang berharga lalu lari dengan kapal keluar negeri. Apalagj Amat sering mamaki pakaian kelasinya Suatu hari Amat jadi nekad, tetapi dengan pikiran yang jujur. Ia memberanikan diri memasuki sebuah warung dan meminta sepiring nasi campur. Karena laparnya segera nasi itu dilahapnya. Dalam hati timbul rasa ngerinya. Bagaimanakah jadinya nanti, uang di kantong tidak ada sepeserpun. Apakah ia akan dipukuli karena tidak dapat membayar nasi yang dimakannya atau dibawa ke kantor polisi, kemudian dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan menipu? Ia berdoa kepada Tuhan semoga memberikan jalan baginya. Perbuatan itu dilakukannya karena terpaksa, karena laparnya tidak tertahankan lagi. Selesai makan dengan maksud baik, Amat segera menghadap orang pemilik warung, dan mengemukakan dengan sikap hormat, bahwa ia tidak dapat membayar yang dimakannya dengan uang, tetapi bersedia mengerjakan apa saja yang disuruhkan kepadanya. Mendengar pernyataan Amat penilik warung mengerutkan dahinya kemudian meledaklah marahnya, dengan melontarkan kata-kata penginaan dan pedas Amat menundukkan kepalanya, insyaf akan’perbuatan nekadnya. “Kuseret kau ke kantor polisi, penipu! bentak peninik warung lagi. Amat tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam hati ia merasakan apa yang tadi dibayangkannya akan terjadi, ia menyerah kepada keadaan Kiranya penilik warung berpikir pula. Apalah artinya harga sepiring nasi baginya dibandingkan dengan kebutuhan yang amat sangat bagi seseorang. Penilik warung ingin menguji kebenaran pengakuan Amat. Lalu katanya dengan nada suara yang jnenurun: “Kalu kau memang mau membayarnya dengan bekerja, baiklah. Mari ikut aku.” Pelayan yang lain terheran-heran, mengapa anak muda yang tadi disugukannya sepiring nasi, tiba-tiba saja sudah bekerja bersama mereka, mencuci piring. Amat mengetahui hal itu, tetapi ia tidak peduli, yang penting bagi Amat ia dapat membayar walaupun dengan tenaga. Amat berusaha bekerja dengan tekun dan sebaik-baiknya. Sudah berapa hari Amat bekerja diwarung itu dengan upah hanya sekedar dapat makan saja. Demikianpun bagi Amat sudah merasa syukur.
Suatu hari dirumah pemilik warung yang terletak dekat pinggiran kota, didepan keluarganya dan tamu tercetuslah cerita tentang Amat diwarung itu sebagai bahan kelakar. Keluarga pemilik warung beserta anak-anaknya tertawa terbahak-bahak dan tamunya tersenym-senyum begitu tuan rumah selesai dengan ceritahya. Mereka menganggap cerita itu lucu. “Sebenarnya aku tidak memerlukan tenaganya, pelayanku sudah cukup,” kata tuan rumah. “Tetapi aku kasihan, dari pada ia akan berbuat begitu juga di tempat lain, “tambahnya lagi. Kemudian tuan rumah menceritakan akan sejarah hidup Amat, sebagaimana pernah diceritakan Amat kepadanya.
Setelah berbincang-bincang sekian lama, tampaknya tamu mereka sudah ingin mengundurkan diri. Tetapi sebelum itu tamu tersebut meminta dengan nada bersungguh-sungguh, bahwa jika tuan rumah benar-benar tidak memerlukan Amat diwarungnya, orang itu bersedia memberikan pekerjaan kepada Amat sebagai tukang kebun dirumahnya. Amat berusaha secepat mungkin dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya yang baru. Rumah besar dan megah, yang dihuni oleh satu keluarga terdiri dari bapa, ibu berserta tiga orang anak yang masih kecil. Dua orang perempuan setengah umur sebagi pembantu dalam rumah dan dapur. Di belakang terletak kamar buat Amat. Di luarnya tergantung beberapa sangkar burung yang besar dan sebuah kandang anjing peliharaan. Semuanya jauh berbeda dengan lingkungan hidup di kampungnya Sendiri. Bagi Amat yang cukup cerdas itu suatu petunjuk pelaksanaan pekerjaan tidak perlu diulangi dua kali. Sekali saja diberitahu sudah mampumemahami dan mengerjakannya dengan tepat dan cepat.
Karena sifat Amat yang peramah , jujur, sopan santun, rajin dan baik hati segera ia mendapatkan tempat yang baik pula di hati semua penghuni rumah. Anak-anak sangat suka kepadanya. Anjing peliharaan itupun segera mendekat sambil meliuk-liukan badannya dan mengibas-ngibaskan ekornya seraya menggonggong kecil, jika melihat Amat. Satu-satu waktu sambil istirahat pada siang hari Amat membaringkan tubuhnnya diatas rumput empuk di bawah pohon rindang di halaman depan. . Saat-saat demikian ia ingat kembali masanya yang lampau. Ibunya, kawan-kawannya, Pak Agam, nakhoda sampai kepada saat ia berbaring itu. Betapa sukarnya ia mendapatkan sepiring nasi diwakrung pada beberapa bulan yang lalu, yang akhirnya seakan-akan ia diperjual belikan kepada tuannya yang sekarang. Semua itu ia tahankan dengan kesabaran. Teringat ia akan pesan ibunya “yang manis jangan segera ditelan yang pahit jangan segera dimuntahkan.” Selama sudah beberapa bulan itu hanya sekali-kali tuannya memberikan uang kepadanya. Dan hanya sekali-sekali pula Amat pergi ke pasar membeli keperluannya yang mungkin tidak terpikir oleh tuannya dengan uang sedikit yang diterimanya itu.
Bulan berganti terus sampai sudah hampir setahun Amat di rumah itu. Tuannya baru saja membeli sebuah perkebunan karet yang besar. Buruh kebun itu cukup banyak. Sejak itu karena tuannya kadangkadang sibuk mengatur pekerjaan buruh-buruh dikebun, Amat sering disuruh membantu pelayan lainnya di toko kain milik tuannya itu sendiri. Dengan demikian kenaïan dan pengalaman Amat cepat bertambah, Penilik warung yang dulu tetap diingat oleh Amat dan tetap baik terhadapnya, dan begitu pula sebaliknya. Sebagai pelayan toko kain yang besar tentu saja pakaian Amat cukup baik, rapi dan bersih. Tampang Amat yang sekarang jauh berbeda dengan tampangnya yang dahulu. Cukup tampan dan gagah serasi dengan pakainnya sebagai orang kota. Namun demikian perilakunya tetap perilaku yang dulu juga, sopan, rajin dan jujur. Karena itu terus menerus mendapat kepercayaan dari tuannya. Sudah lama kiranya belum ada suatu pekerjaan tetap yang diberikan tuannya kepadanya, sampai pada suatu hari Amat disuruh pula memimpin pekerjaan buruh diperkebunan tuannya. Tugas memimpin pekerjaan buruh itu memerlukan kesungguhan dan ketekunan. Tuannya mengetahui hal ini. Karena itu sejak saat itu Amat hanya bertugas di perkebunan itu saja lagi. Hanya pada hari-hari libur Amat datang ke rumah tuannya, sedangkan pada hari-hari kerja ia tetap berada di perkebunan yang letaknya agak jauh di luar kota. Kedatangannya ke rumah itu sudah lebih banyak dianggap sebagai keluarga dari pada dulu sebagai pekerja meawat halaman dan tanaman. Anak-anak tuannya tetap ingat kepadanya dan selalu menyambut Amat dengan kemanjaan. Demikian juga anjing peliharaan tuannya berlari menyonsong Amat, jika melihat Amat datang. Semuanya seakan-akan meiepaskan rindu selama beberapa hari tak berjumpa. Sebagai pemimpin pekerjaan buruh Amat mempunyai hak dan kewajiban sama dengan buruh yang lain. Haknya mendapat upah dan kewajibannya bekerja. Setiap bulan Amat mendapat gaji tetap yang tertentu banyaknya. Amat berhemat dan menabung sebagjan besar dari gajinya. Ia selalu ingat janjinya kepada ibunya, bahwa sekembalinya dari perantauan ia akan menguntaikan kalung berharga di leher ibunya, menyelipkan cincin di jari ibunya, mengenakan pakaian yang indah di tubuh ibunya, dan sebagainya.
Hari berjalan terus, keuntungan tuannya berlipat ganda, dari toko dan dari perkebunan karetnya. Amat juga menghitung-hitung simpannannya, rupanya sudah agak banyak juga. Agar jumlah uang Amat cepat bertambah, ia mendapat akal dan terus banting tulang. Ia mencoba meniru perbuatan tuannya. Tentu saja caranya berbeda. Amat membeli sebuah kios dipinggiran kota agak ke dalam. Sore sehabis kerja di perkebunan sampai malam ia berjualan di kios tersebut. Kiosnya itu diisinya dengan barang-barang keperluan seharihari. Mulai dari garam, minyak, gula dan bumbu-bumbu masak sampai kepada barang-barang kelontong. Tetapi jumlahnya masing-masing terbatas menurut modalnya yang tersedia.
Persedian barangnya cepat ha bis, karena Amat sangat peramah dan pandai menarik hati pembeli. Kemudian cepat pula disinya kembali dengan berbelanja ke pasar besar. Sungguhpun begitu pekerjaannya sebagai buruh diperkebunan karet tidak pernah dilalaikannya. Dengan demikian keuntungannya cepat bertambah berlipat ganda pula. Keuntungan demi keuntungan ditabungnya, seperti lebah menghimpun madu, seperti semut menimbun busut. Hal ini diketahui oleh tuannya. Diam-diam tuannya merasa kagum, dan menjadi bahan cerita kembali di kalangan keluarga dan kenalankenalan tuannya. Sepuluh tahun sudah Amat merantau. Ibunya selalu diliputi pertanyaan, bagaimanakah dan dimanakah kiranya anak kesayangannya itu. Kepada orang-orang sekempungnya ibu itu menanyakan, kalau-kalau ada yang mendengar kabarnya, tetapi tidak seorangpun yang dapat memberikan jawaban yang pasti. Jawaban orang-orang di pelabuhan juga tidak memuaskan hatinya. Jawaban yang diterimanya simpangsiur. Semua itu membuat hati ibunya resah dan gelisah, tetapi akhirnya ia berserah kepada Tuhan dan tetap mendoakan agar kepada anaknya Amat diberikan Tuhan perlindungan. Kehidupan ibu Amat tidak banyak berubah. Ia hanya berusaha sekedar dapat memenuhi kebu tuhan hidupnya sehari-hari, sesuap dua suap nasi. Tidak berusaha lebih dari pada itu.
Wajahnya sudah mulai keriput dimakan umur. Ditambah dengan rasa rindu yang belum tentu datang obatnya. Kalau diketahuinya ada kapal baru berlabuh, dipasangnya telinganya baik-baik, kalaukalau ia dapat mendengar berita tentang anaknya atau barangkali anaknya kembali dengan kapal itu. Kiranya Amat juga demikian. Saat-saat istirahat jauh dari kesibukan pekerjaan, ia terkenang kepada ibu tercinta yang ditinggalkan Rasa rindu menyelusuri seluruh tubuhnya. Sebenarnya untuk sekedar pulang ia sudah mampu mengongkosi dirinya, tetapi cita-citanya membisikkan belum waktunya ia kembali. Apalah artinya kalau hanya sekedar pulang tanpa membawa sesuatu yang berharga untuk kemudian hari. Dalam pada itu Amat bersyukur, bahwa selama ini rezekinya berlimpah. Amat sadar pula bahwa itu semua berkat doa ibunya sendiri. Kadangkadang dengan tidak disadarinya Amat berbisik sendiri: Sabarlah ibu tunggulah aku kembali.” Kiranya hubungan batin antara ibu itu dengan anaknya tetap terpaut. Kini Amat benar-benar dewasa. Dewasa umur dan dewasa pengetahuan yang dimatangkan oleh pengalaman penderitaannya. Pada suatu hari pemilik perkebunan karet tempat Amat bekerja dikejutkan oleh berita yang didengarnya di kota, bahwa Amat sudah membeli sebuah toko di kota itu. Orang itu ingin segera mengetahui kebenarannya dan memang benarlah demikian setalah didengar pengakuan Amat sendiri. Semula orang itu merasa rugi kehilangan Amat, satu-satunya tenaga yang sangat terampil di perkebunan karetnya. Amat tentu tidak akan dapat lagi membantunya, karena sibuk dengan tokonya yang baru. Karena kecerdasan Amat yang dianggap orang itu luar biasa, terpikir olehnya akan bekerja sama dengan Amat dalam hal dagang. Orang itu menyerankan kepada Amat supaya berdagang kain saja. Dan kebetulan sarannya itu sesuai dengan keinginan Amat yang sudah lama direncananakan. Kabar tentang Amat menggemparkan kawan-kawannya buruh diperkebunan karet milik tuannya, juga menggemparkan kenalankenalannya. Tak ketinggalan penilik warung. Semua mereka tidak menduga sama sekali bahwa Amat akan dapat menjadi orang kayadan secepat itu pula. Penilik warung tersenyum lucu sendiri, ketika di-ingat-ingatnya bagaimana Amat pada belasan tahun yang lalu makan di warungnyai tanpa uang sepeserpun. Kiranya Amat sedang dinaiki rezeki, dagangnya sangat laris. Pengalamannya menjadi pelayan di toko tuannya dulu sangat berharga bagainya dalam usaha memajukan tokonya. Disamping itu mendapat bimbingan yang perlu dari bekas tuannya. Amat mengambil kesimpulan dari semua pengalamannya yang sudah berlalu, bahwa modal pertama dan utama adalah kemauan yang keras “Dimana ada kemauan disitu ada jalan”. Sesudah ada kemauan yang keras perlu diiringi oleh kejujuran, sopan santun, baik hati, peramah dan sebagai kunci terakhir berdoa dan tagwa kepada Tuhan. Amat ingat semua nasehat ibunya, pengajaran gum mengajinya, nasehat orang tua-orang tua dikampungnya dan nakhoda kapal dahulu. Sebenarnya semua itulah yang mendorong Amat memberanikan diri dahulu mengambil keputusan pergi merantau. Amat yakin akan modal yang sudah didapat itu dengan mengamalkannya secara tulus ikhlas, bersungguh hati.
Konon pula modal itu tidak berat membawanya; tidak perlu dijinjing atau dipikul. Semua itu sudah menjadi satu dengan dirinya sendiri dan sudah akan terbawa kemana saja ia pergi. Keyakinan Amat dahulu itu sudah menjadi kenyataan. Dengan itu ia sudah mendapatkan modal usaha berupa uang dan benda-benda berharga berlimpah. Hanya tinggal mengaturnya menurut kemauan. Sebagai lanjutan dari usahanya Amat membeli sebuah kapal dagang yang besar. Amat berusaha mempelajari seluk beluk kapal itu, bahkan ia sudah mampu menjadi nakhoda. Dengan demikian apa yang dicitacitakannya di kampung Pasie, tempat asalnya dahulu sudah terwujut, bukan lagi berupa impian belaka. Diam-diam dengan khidmad Amat bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada semua orang yang pernah memberi nasehat dan membantunya sejak dahulu. Langkah, rezeki, pertemuan dan maut adalah di tangan Tuhan, kata orang orang zaman dahulu, empat serangkai ini pasti dilalui dan dialami oleh setiap manusia pada umumnya. Langkah Amat meninggalkan kampung halaman pergi merantau, dalam hal ini dapat dinilai sangat baik. Kemudian diikuti oleh rezeki yang berlimpah. Dua hal yang sudah pernah dilaluinya, maka tibalah hal ketiga, pertemuan.
Kiranya pertemuan Amat sudah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Tuhan bukan dengan orangnya sekampung sebagaimana lazimnya, tetapi dengan seorang gadis anak bangsawan di Pulau Pinang itu sendiri - Asam digunung garam dilaut bertemu dalam belanga. Pemuda Aceh dari kampung Pasie, gadis bangsawan di pulau Pinang bertemu dalam perjodohan. Gadis bangsawan ini selain sangat cantik berbudi baik pula. Benar-benar pasangan yang serasi lahir dan bathin.. Betapa meriahnya upacara persemian perkawinan sepasang insan ini, kiranya seorangpun tak akan mampu mengisahkannya dengan sempurna. Tujuh hari tujuh malam pesta pora. Selama itu Linto Baro (Pengantin lelaki) dan Dara Bare (Pengantin Perempuan), tidak sepi-sepinya mendapat kunjungan dan jabatan tangan ucapan selamat dan berbahagia dari semua handai tolan, kenalan serta sanak famili di Pulau Pinang. Saat-saat bersejarah demikian ini tidak dilewatkan begitu saja oleh sepasang Linto Baro dan Dara Baro ini. Mereka berbulan madu ke semua tempat-tempat hiburan dan tempat yang menyenangkan di pulau Pinang. Bahkan melawat kedaratan semenanjung Malaka. Dalam bermesra-mesraan keduanya sudah mulai berbincang-bincang dengan sikap saling manja terhadap kehidupannya dimasa yang akan datang. Mulai dari bakal rumah yang akan mereka tempati terlepas dari orang tua sampai kepada buah hati mereka berdua.
Amat sebagai Linto Baro sudah menempati rumah baru bersama isternyaSudah mulai kembali membuka usahanya. Dengan kapalnya sendiri kadang-kadang disertai isterinya. Usaha dagangnya mendapat sambutan baik dimana-mana, sekali gus mendatangkan keuntungan yang besar. Satu hal yang masih sangat merisaukan hati Amat sudah dua puluh tahun Amat merantau, meninggalkan ibunya di kampung Pasie Aceh. Berkali-kali Amat merencanakan kembali menjenguk ibunya, bahkan sejak Amat belum berumah tangga, tetapi tetap ada-ada saja hal yang menggagalkan.. Kiranya Tuhan belum mengizinkannya. Kini dirasakan takkan ada lagi yang menjadi penghambat. Semuanya sudah ada padanya. Kapalnya lebih dari mampu berlayar ke pelabuhan Krueng Raya di Aceh dekat kampungnya Pasie. Isterinya sudah berkali-kali menayakan soal orang tua Amat, tetapi Amat sendiri belum pernah memberikan keterangan yang lengkap. Hanya Amat berkata supaya isterinya bersabar, satu waktu kelak pasti berjumpa dengan’mertuanya.
Suatu ketika tibalah saat yang baik. Amat memutuskan untuk menjenguk sekali gus menjemput ibunya. Pada mulanya Amat bermaksud pergi sendiri, tetapi isterinya berkeinginan keras pula ikut bersama. Ingin segera berjumpa dengan mertuanya dan ingin melihat dari dekat kampung halaman tempat tumpah darah suaminya yang tercinta. Mereka pergi bersama. Beberapa hari dan malam di laut antara pelabuhan yang ditinggalkan dan yang dituju. Kian dekat, hati Amat kian berdebar-kebar. Bagaimanakah nasib ibunya setelah dua puluh tahun ditinggalkan. Adakah perubahan-perubahan di pelabuhan dan kampungnya? Masih adakah orang yang mengenalnya, dalam pakaian dan tugasnya di kapal itu sebagi nakhoda?. Semua yang dirisaukan Amat tidak akan terjawab sebelum sampai di tempat yang dituju. Hanya hatinya yang semakin berdebar-debar, seirama dengan semakin dekat dan jelasnya daratan. Jangkar dibuang, kapal berlabuh agak jauh dari dermaga. Mata Amat nyalang ke tempat sekitar. Perahu-perahu masih seperti dahulu, mundar mandir mengitari kapal. Di sana-sini di daratan tidak banyak perubahan. Bangunan lama bertambah tua. Ada beberapa bangunan baru. Tetapi belum dapat menandai seorangpun diantara mereka di pelabuhan. Pak Agam yang dulu belum terlihat oleh Amat. Apakah masih bekerja di pelabuhan ataukah sudah berhenti karena tuanya. Amat masih dapat menandai tempat terakhir bersama ibunya dan Pak Agam di pelabuhan itu dulu. Semuanya terbayang kembali dengan jelas di benak Amat. Seakan-akan kejadian dua puluh tahun yang lalu, saat-saat ia meninggalkan pelabuhan pergi merantau, baru kemarin terjadi. “Hei, abang Amat! ” tiba-tiba teriak seseorang dari perahu disamping kapal sambil melambaikan tangan. Amat terkejut mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dengan sikap menyelidiki siapa orang itu. “Abang pulang, ya. Aku Agam Puteh,” teriaknya lagi dalam bahasa Aceh. Amat cepat ingat nama itu, lalu ia pun membalas dengan lambaian tanggan sambil tertawa riang. “Naiklah ke kapal Agam!” “Nanti saja bang. Kapalmu merapat dulu, Aku sedang sibuk!” Dengan melambaikan tangan kembali Agam Puteh meninggalkan tempat itu kecelah-celah kapal yang lain.
Amat mengagumi ingatan Agam Puteh yang demikian kuat. Amatpun ingat kembali masa kanak-kanaknya dulu. Agam Puteh anak pamannya. Dulu lebih kecil dan lebih muda sedikit dari padanya. Dipanggil demikian karena kulitnya memang sedikit lebih putih dari kawan-kawannya yang sebaya.
Melalui Agam Puteh, kemudian dari seorang ke seorang tersebar kabar sampai ke kampung Pasie, bahwa Amat sudah kembali. Kabar itu segera pula sampai ke telinga ibunya. Tak dapat dilukiskan betapa gembiranya ibu tersebut. Seakan-akan sudah kembali semua semangatnya, terobat pulih kembali semua penderitaan selama ditinggalkan Amat buah hatinya. Tak sabar ibu itu menunggu, ingin segera memeluk anaknya. Tak - banyak ia berharap, kecuali agar Amat segeTa kembali kepangkuannya. Amat, anaknya yang dahulu pergi merantau ke negeri orang, kini telah kembali. Dengan kelesuan tubuhnya karena tua, tertatih-tatih ibu itu berusaha berjalan ke pelabuhan. Di tengah perjalanan ia banyak bertemu dengan orang-orang dari pelabuhan. Hampir semua mereka meneriakan sambil jalan: “Bu ! Amat sudah pulang.” Hanya dibalas oleh ibu itu dengan senyum bahagia dengan mulutnya yang sudah keriput.
Kapal merapat. Amat mendahului turun ke dermaga menandakan ia tidak asing di daerah itu. Tujuannya yang utama ke kantor Mungkin akan menanyakan hal ibunya. Hiruk pikuk di sekitarnya tidak dihiraukannya. Tiba-tiba: “Abang Amat!” teriakan kedua kalinya menyebut namanya. Amat menatap ke depan, Beberapa langkah di hadapan Amat, kelihatan Agam Puteh bersama seorang perempuan tua. Ditelitinya perempuan tua itu dari kepala sampai ke kaki. Rambutnya ubanan, wajahnya keriput, matanya keputih-putihan, kelihatannya sudah agak rabun, sudut-sudut mulutnya merah lelehan sirih yang dikunyah, pakaiannya compang-camping, badannya bungkuk, bertekenan pada sebuah tongkat.
“Abang Amat, inilah ibumu,” kata Agam Putih dengan suara lembut seakan-akan memperkenalkan. ” Anakku!!” sambung ibu itu sambil mengulurkan tangan kanannya memeluk Amat. Dalam hati Amat menyadari benar-benar ia sedang berhadapan dengan ibunya sendiri. Amat menoleh sejenak ke kapal dan sekitarnya. Dilihatnya isterinya sedang datang mendekat. Awak-awak kapal dan sebahagjan besar orang-orang dipelabuhan mengarahkan pandangan ke tempat ketiga itu. Tiba-tiba seperti halilintar disiang bolong Amat berteriak keras-keras ‘Tidak, tidak! Ini bukan ibuku!” “Akulah ibumu, nak!. Ibu merasa gembira dan bahagia sekali, engkau kembaü. Peluklah aku nak!” ‘Tidak! Engkau bukan ibuku, engkau adalah pengemis tengik dan busuk Ibuku tidak begini rupanya! Kiranya Amat enggan dan mungkir mengakui perempuan tua itu ibunya, karena takut dicemoohkan oleh isterinya dan anak buahnya di kapal. Pada pikiran Amat, kalau mereka tahu ini ibunya, tentu mereka akan mengatakan bahwa Tuan Amat yang kaya raya itu adalah sebenarnya keturunan rakyat jelata yang melarat, tidak pantas memperisterikan seorang nerempuan turunan bangsawan. Karena itu Amat mengingkari kenyataan yang sebenarnya. “Anakku, akulah ibumu nak, Akulah yang melahirkanmu. Air susu ibu inilah yang membesarkanmu. Marilah kita pulang ke rumah, nak!” “Barangkali benar pengakuan orang tua ini, bang!” kata isterinya. “Memang benar, inilah ibumu, bang Amat! Keadaannya memang sudah banyak berubah, sudah sangat tua setelah berpuluh tahun kau tinggalkan. Aku tahu sekali, bang!” kata Agam Puteh menambahkan. “Ah, tidak! Ini bukan ibuku. Ini pengemis tua yang tidak tahu malu Pergi, pergi dari sini ” Amat menuding. “Anakku,” ibunya mendekat maju ingin meraih Amat. ‘Tidak! Jangan dekati aku. Aku nakhoda baru datang ke mari.” “Anakku, aku ibumu nak. Suaramu masih dapat kutandai. Suara Amat, anakku!” Ibu itu maju mendekat terus mengulurkan tangan seakanakan meraba-raba hendak menjamah wajah anaknya. “Hai bedebah!” Amat menendang perempuan tua ini sampai jatuh terjungkir. Tongkatnya terpelanting. Amat sendiri menarik tangan isterinya lari dan naik ke kapal. Serta Amat memanggil semua awak kapalnya. Berteriak memberi perintah supaya kapalnya segera berlayar meninggalkan pelabuhan itu. Ibu itu dengan susah payah berusaha bangun dan duduk bersimpuh. Lalu menadahkan tangan, dan mengadahkan muka ke langit, berdoa:
“Ya Tuhanku, aku yakin dia adalah anakku. Aku bermohon kepadaMu, berilah kesadaran yang sebenarnya kepadanya!” Tuhan adil. Selesai berdoa, tiba-tiba saja turunlah badai, hujan sangat lebat disertai angin kencang. Semuanya jadi panik mencari tempat berlindung. Kapal-kapal seperti sabut, terombang-ambing kesana kemari dihempaskan ombak sebesar gunung. Tak dapat mata jauh memandang. Alam sekitar keputih-putihan diliputi kabut dan hujan. Badai mengamuk sejadi-jadinya tujuh hari tujuh malam terus menerus. Ditengah-tengah desauan angin dan deraian lebatnya hujan, dari arah Laut sayup-sayup kedengaran teriakan pilu: “Ibu , Ibu ! Aku anakmu, ibu! “Maafkan aku ibu Ibu !”.. sekali didengarnya. Lalu berderailah air matanya selebat-lebatnya seperti lebatnya hujan yang turun waktu itu. Ibu itu menyesali sikap anaknya yang demikian angkuh. Sia-sialah segala jerih payahnya mengasuh, memelihara dan membesarkannya. Sia-sia pulah segala pengajiannya dahulu. Ia ingkar kepada pengajaran Tuhan dalam Agama Maka Tuhan menurunkan laknat kepadanya. Teriakan itu didengar perempuan tua itu berkali-kali. Kemudian hilang ditelan deru hujan angin dan ombak. Hujan reda. Laut tenang kembali air Krueng Raya’ bertambah besar. Dimana-mana kelihatan air tergenang dan melimpah ruah. Angin berhenti di Udara cerah sejauh mata memandang. Tidak jauh dari dermagga diantara pecahan ombak tersebut sebuah batu sebesar kapal. Itulah kapal Amat Rhang Manyang, Kapal Amat Yang Durhaka berserta awak kapal dan isinya. Tuhan’ sudah menurunkan mala petaka kepada Amat, bukan sekedar menjadikannya batu, bahkan selama air laut tidak kering Amat Rhang Manyang tetap terendam dan dihempas-hempiskan’ oleh ombak, yang merupakan siksaan sepanjang masa.
oleh Meta Indriyani Kurniasari
Demikianlah Artikel Cerita Rakyat : Amat Rhang Manyang
Sekianlah artikel Cerita Rakyat : Amat Rhang Manyang kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Cerita Rakyat : Amat Rhang Manyang dengan alamat link https://www.liputanglobal.com/2015/04/cerita-rakyat-amat-rhang-manyang.html